Hari itu, 25 Januari 2024. Aku duduk di sisi jendela pesawat, menggenggam erat paspor dan boarding pass di tangan kananku. Tatapanku tertuju pada dua benda itu, seolah ada cerita yang berusaha mereka bisikkan. Pemandangan langit biru di luar jendela sengaja ku abaikan, lebih memilih menyelami memori sepuluh tahun yang lalu — memori yang dulu selalu ku hindari karena selalu menghadirkan tangis yang cukup lama, seperti hujan yang turun di pagi hari Bulan Desember.
Aku memasuki awal tahun 2024 dengan mimpi yang sudah lama hilang. Mimpi seorang anak SMA yang ambisius untuk meningkatkan nilai dirinya dengan menargetkan prestasi hingga ke puncak, namun ambisinya kalah dengan keinginan untuk memberikan ruang kesempatan bagi orang lain untuk berkembang.
Semuanya bermula dari keputusan naif dan sok pahlawan yang aku ambil saat itu. Mimpi yang telah ku bangun rapi selama dua tahun, kuat seperti istana pasir yang megah, seketika hancur lebur diterpa derasnya ombak kenyataan. Kenyataan bahwa keinginanku untuk memberikan ruang bagi orang lain untuk berkembang ternyata lebih kuat daripada mimpiku sendiri.
Hingga kini, bayangan dari keputusan itu masih membekas, walaupun rasa sakit itu memudar setiap tahunnya seperti bekas pensil yang dihapus dengan mantra-mantra untuk memaafkan diri sendiri. Tapi hari ini, di atas pesawat yang membawaku ke arah mimpi baru, aku bertanya-tanya: apakah akhirnya aku berdamai dengan masa itu?
Sepuluh tahun yang lalu aku selalu berpikir bahwa mendahulukan orang lain adalah pilihan yang benar, meski di dalam hati, aku tahu ada bagian dari diriku yang terluka setiap kali menghadapinya. Hari-hari penuh pertanyaan dan keraguan terus menghantuiku, seakan-akan aku menyerahkan kebahagiaan tanpa balasan. Bertahun-tahun aku merasa sia-sia punya mimpi, kalaupun ada, selalu berakhir dicegat rasa takut akan berharap sesuatu yang besar dan sulit diraih.
Namun, hari ini, di langit ini, dengan paspor dan boarding pass yang masih ku genggam, aku menyadari satu hal penting: keputusan itu bukan sekadar tentang kehilangan mimpi, tapi tentang menemukan makna dari ketulusan. Ketulusan tidak pernah sia-sia, karena penghargaan tak selalu datang dari mereka yang kita beri kesempatan. Justru penghargaan hadir dari kehidupan itu sendiri — menguatkan kita, membentuk kita, dan membawa kita menuju hal-hal yang lebih besar dari sekadar mimpi yang pernah hilang.
Tidak tahu bagaimana jadinya sekarang jika aku masih terpuruk dengan terus mengutuk diri, seperti yang sering kulakukan di tahun-tahun sebelumnya. Terjebak dalam lingkaran penyesalan dan rasa bersalah dengan diri sendiri. Penerimaan yang awalnya sangat sulit ku jejaki, ternyata adalah langkah pertama menuju kebebasan. Aku merasakan bukan hanya sekadar menerima apa yang telah terjadi, tetapi memahami bahwa setiap keputusan, setiap pengorbanan, memiliki alasan yang lebih dalam — yang akhirnya membawaku ke sesuatu yang lebih besar di hari ini. Mimpi-mimpi besar itu hadir kembali dengan lebih percaya diri menunjukan eksistensinya, yang kali ini tidak akan ku usir lagi kehadirannya.
Untuk aku yang masih berusia 15 tahun, 16 tahun, 17 tahun, 18 tahun, 19 tahun, 20 tahun, 21 tahun, 22 tahun, 23 tahun, 24 tahun. Tidak apa-apa tahun ke tahun kamu lewati dengan kesedihan yang sulit diungkapkan. Memang tidak semua harus diungkapkan. Tidak apa-apa baru kali ini kamu menyatakan penerimaan. Memang baru waktunya, tidak perlu merasa bersalah dengan diri sendiri. Tidak perlu juga untuk meminta maaf. Memang begini adanya, memang begini seharusnya. Tidak apa-apa untuk tidak selalu kuat, karena memang tidak ada manusia yang selalu kuat.
Tidak apa-apa menunggu sedikit lebih lama, sejatinya tidak ada kata terlambat bagi sebuah penerimaan.